Malam Lailatul Qadar
Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar : لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) (malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadan, yang dalam Al Qur’an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan juga diperingati sebagai malam diturunkannya Al Qur’an. Deskripsi tentang keistimewaan malam ini dapat dijumpai pada Surat Al-Qadar, surat ke-97 dalam Al Qur’an.
Menurut Quraish Shihab, kata Qadar (قﺩﺭ) sesuai dengan penggunaannya dalam ayat-ayat Al Qur’an dapat memiliki tiga arti yakni [1]:
- Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Penggunaan Qadar sebagai ketetapan dapat dijumpai pada surat Ad-Dukhan ayat 3-5 : Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami
- Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran. Penggunaan Qadar yang merujuk pada kemuliaan dapat dijumpai pada surat Al-An’am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik: Mereka itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada masyarakat
- Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat Al-Qadr. Penggunaan Qadar untuk melambangkan kesempitan dapat dijumpai pada surat Ar-Ra’d ayat 26: Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya)
Keistimewaan
Dalam Al Qur’an, tepatnya Surat Al Qadar malam ini dikatakan memiliki nilai lebih baik dari seribu, bulan .97:1 Pada malam ini juga dikisahkan Al Qur’an diturunkan, seperti dikisahkan pada surat Ad Dukhan ayat 3-6. 44:3
Waktu
Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada 10 malam terakhir bulan Ramadan, hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah yang mengatakan : ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dan beliau bersabda, yang artinya: “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Romadhon” “(HR: Bukhari 4/225 dan Muslim 1169)
Tanda-tanda
bagaimanakah tanda-tanda yang benar berkenaan dengan malam yang mulia ini ? Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengabarkan kita di beberapa sabda beliau tentang tanda-tandanya, yaitu:
1. Udara dan suasana pagi yang tenang
Ibnu Abbas radliyallahu’anhu berkata: Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Lailatul qadar adalah malam tentram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, esok paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah” (Hadist hasan)
2. Cahaya mentari lemah, cerah tak bersinar kuat keesokannya
Dari Ubay bin Ka’ab radliyallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Keesokan hari malam lailatul qadar matahari terbit hingga tinggi tanpa sinar bak nampan” (HR Muslim)
3. Terkadang terbawa dalam mimpi
Seperti yang terkadang dialami oleh sebagian sahabat Nabi radliyallahu’anhum
4. Bulan nampak separuh bulatan
Abu Hurairoh radliyallahu’anhu pernah bertutur: Kami pernah berdiskusi tentang lailatul qadar di sisi Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, beliau berkata,
“Siapakah dari kalian yang masih ingat tatkala bulan muncul, yang berukuran separuh nampan.” (HR. Muslim)
5. Malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan)
Sebagaimana sebuah hadits, dari Watsilah bin al-Asqo’ dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:
“Lailatul qadar adalah malam yang terang, tidak panas, tidak dingin, tidak ada awan, tidak hujan, tidak ada angin kencang dan tidak ada yang dilempar pada malam itu dengan bintang (lemparan meteor bagi setan)” (HR. at-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir 22/59 dengan sanad hasan)
6. Orang yang beribadah pada malam tersebut merasakan lezatnya ibadah, ketenangan hati dan kenikmatan bermunajat kepada Rabb-nya tidak seperti malam-malam lainnya.
Rini Intama dan Puisi Religi – sebuah pembahasan
Puisi bisa juga menjadi salah satu cara seseorang penyair untuk mengabadikan seluruh perasaannya agar senantiasa abadi. Perasaan ini bisa berupa perasaan senang maupun benci, bahagia maupun sedih. Hal semacam ini menunjukkan bahwa puisi sangat dekat dengan kehidupan kita. Puisi bisa menghadirkan segala pujian maupun gugatan.
Kali ini Rini Intama hadir dengan puisi yang bertema reliji. Puisi yang melukiskan betapa kematian itu, sangat rahasia dan tak ada seorang pun yang bisa mengetahui hari kematiaannya.
Puisi kematian yang diusung kali ini, adalah puisi kematian yang tak terkesan menggurui. Puisi kematian yang hanya mencoba getar jiwa dalam memaknainya. Marilah kita sejenak meluangkan waktu untuk bersama-sama membaca dan menelaah puisi di bawah ini;
LIMA NOVEMBER
Lupa pada warna senja yang sebentar lagi turun
Suara ibu memanggilku hingga suara serak berdahak
Lamat menghilang dalam pekat awan yang berserak
Secangkir air mata panas tumpah menyiram hatiku
Malam, kutanya di mana ibu?
Ayah berbisik, sudah di surga sore tadi nak.
November 2010
(diambil dari buku Gemulai Tarian Naz karya Rini Intama halaman 62)
Ketika membaca judul puisi di atas awalnya saya hanya menerka-nerka apa keistimewaan November di mata batin seorang Rini Intama sehingga harus diabadikan dalam puisi.
Perlahan saya mencoba mentadabburi aksara demi aksara yang disusun dan dijadikan puisi dengan dua bait yang utuh, dua bait yang mampu menjawab pada hakekatnya segala sesuatu akan menjadi fana tanpa pernah menduganya.
Dalam bait pertama yang hanya terdiri dari empat baris, Rini Intama membuka baitnya dengan sebuah sapaan yang membuat kita tersadar dari lena hidup yang kita jalani. Lupa pada senja yang menjadi matahari merebahkan diri. Lupa pada senja yang menjadi tempat kita kembali.
Bait pertama secara utuh hanya menggambarkan suasana jiwa saat mendebarkan dalam menghadapi kematian, saat-saat yang penuh dengan kegetiran. Saat-saat yang membuat ruh merenung kembali tentang keberadaan yang dijalani. Bait pertama disampaikan secara jujur dan tidak klise dengan membumbuhi sedikit metafora.
Pada hakekatnya kematian selalu memberikan cuaca hati yang beragam, bagi yang mengalami kematian menjadi tanda pintu ketiga dalam sebuah perjalanan yang dilewati hamba telah dilalui. Pada pintu ini, biasanya seorang hamba hanya tinggal menunggu keputusan di padang mahsyar. Keputusan tentang segala amal. Dalam pintu ketiga perjalanan ini, bisa jadi penanda amal baik buruk seseorang dalam kamar baru yang dihuni. Apabila kelakuan baik yang lebih mendominasi paling tidak hamba yang berada dan telah memasuki pintu ini sangat riang gembira. Tidak merasakan gulita di kamar yang baru namun bagi yang banyak memiliki dosa menjadi tempat yang sangat menyeramkan.
Bait kedua dalam puisi ini, lebih memfokuskan pembahasannya pada kebimbangan seorang penyair dalam mencari tentang kabar keberadaan ibunya, Orang yang sangat dicintai dan sangat dirindui. Pertanyaan seperti ini wajar terjadi dan sering kita saksikan dalam hidup ini, utamanya saat kita sangat merindukan sosok ibu yang sering kita lihat, tiba-tiba hilang tanpa sebab.
Kegelisahan penyair dalam mencari sosok ibunya, yang tak kunjung mendapatkan jawaban, dari malam yang mejadi tempat pertanyaan. Malam yang menjadi tempat kesunyiaan untuk menanyakan hakekat keberaan sosok orang yang dicintai, akhirnya penyair mulai merasa lega dengan adanya jawaban tiba-tiba dari sosok bernama ayah. Ayah yang sangat memahami psikologi keadaan anak yang kehilangan ibunya sebisa mungkin akan mencari bahasa yang lebih menghibur buah hatinya, Ayah berbisik, sudah di surga nak sore tadi. Betapa indah penyair menutup baitnya.
Dari segala uraian yang telah saya paparkan, paling tidak Rini Intama dalam puisinya berjudul LIMA NOVEMBER telah berhasil menyampaikan tentang risalah kematian. Rini berbicara kematian namun tak terkesan menggurui. Kematangan penyair dalam menyampaikan imajinasi telah teruji dengan baik. Demikian kajian kematian yang bisa saya paparkan dalam puisi yang ditulis oleh penyair Rini Intama.
Terlepas dari plus minusnya penyampaian biarkan sejarah yang membahas dan menjelaskan kepada generasi berikutnya. Akhirnya saya haturkan selamat membaca, menelaah dan mengapresiasi. Untuk penyairnya saya haturkan alfu mabruk
Kamar Hati, 13 Juni 2011
Kumandang Azan
Azan
//
detak bertalu dibeduk berkayu tua
lelap disenyap fajar menguak
ringkih sunyi masjid berpermadani indah
deru derap dan lirih suara mengalun
ayun ayun langkah terpanggil
sentuh keruh dikeheninngan subuh
jelang waktu tak berbilang
:: 16 Juni 2010
Dzikir
Dzikir
//
Hening
bening
senyap menggigil sukma
tetes embun merasuk relung hati berpalung
gema dzikir cumbui malam hingga fajar
rindui menyahdu seduhi kelam
Sang Maha Besar Pengasih Penyayang
luruhku dikeluh tak habis
luruhku dicinta tak usai
luruhku ditangis tak henti
:: 16 Juni 2010
Allah Sang Maha Pemberi Cinta
Katakanlah wahai smua pecinta dunia
Katakanlah ‘ikrar cinta’ itu hanya karena AKU..
Katakanlah smua ‘kerinduan’ itu hanya karena AKU..
katakanlah smua ‘getargetar rasa’ itu hanya karena AKU..
Dan smoga AKU yang Maha Mencinta
yang Menciptakan dunia dengan kasih sayang
yang Mengajarkan kita tentang Cinta sejati..
Memberikan kesempatan padamu untuk merasakan ‘hakikat’NYA..
Para penyair Persia menulis tentang keindahan cintaNYA
Para penyair persia menulis tentang keindahan cintanya pada Sang Maha Pencipta…
Awan, angin, bulan, matahari dan langit terus menerus sibuk bekerja…
Batas penglihatan begitu sempit…
Padahal bungabunga kejelitaanMU beraneka macam
Dia yg memetik bunga dari tamanMU…
Daya tarikMU jg tak terbilang
dalam hati yg gelisah, hanya Engkau satu2nya….
Seluruh mahluk telah ditugaskan melayani MU dengan penuh kepatuhan….
Keadilan tdk akan dipenuhi jika engkau gagal mematuhi-NYA..
Wahai manusia betapa indahnya surga dan betapa gembira orang2 yg menghampirinya….
Jelang shubuh
bertasbih
//
CahayaMU memahat cinta dibalik semak belukar
duh Gusti kemilau airmata syahadat sukma menggetar
menakar sabar dihutan jati berjajar
menyelinap pendar redup cahaya disela ranting dan akar menjalar
Cahaya Cahaya MU
Komentar